Selasa, 28 Desember 2010

IKLIM GLOBAL MENGHANTUI KEHIDUPAN MANUSIA

IKLIM GLOBAL MENGHANTUI KEHIDUPAN MANUSIA
oleh : siti fadhilatussaniah

Perlahan tapi pasti bahwa bumi yang kita huni sekarang ini sedang mengalami perubahan iklim global yang luar biasa (ektrim). Berbagai penelitian dan kajian para ahli lingkungan mengungkapkan data dan informasi yang sangat mengerikan dan beberapa wilayah di Indonesia terancam menuju penggurunan. Masalah iklim adalah bersifat global karena bumi telah diciptakan oleh Tuhan sedemikian rupa berada dalam suatu sistem tata surya sebagai ekosistem besar. Karena itu wajar jika seluruh negara harus membangun komitmen bersama jika ingin selamat atau menghindari bencana lingkungan hidup yang akan terjadi.

Perubahan iklim global merupakan isu yang mulai menjadi topic perbincangan dunia sejak diadakannya Konferensi Tingkat Tinggi Bumi di Rio de Janeiro Brasil pada tahun 1992. Konvensi Perubahan Iklim atau United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) merupakan salah satu konvensi yang tercantum dalam Agenda 21 dan telah disahkan pada konferensi tersebut. Kemudian Konvensi Perubahan Iklim tersebut telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-undang No.6 tahun 1994. Maksud dan tujuan utama dari konvensi tersebut adalah untuk menjaga kestabilan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) di atmosfir sehingga terjaminnya ketersediaan pangan dan pembangunan berkelanjutan.

Terjadinya “bencana alam” yang sedang dialami oleh dunia sekarang ini dan terus akan meningkat pada masa akan datang, ternyata lebih dominan akar masalahnya dari ulah manusia sendiri yang dengan semena-mena memanfaatkan ataupun mengeksploitasi Sumber Daya Alam tanpa mengindahkan norma-norma ekosistem yang ada. Disamping itu pola hidup manusia di zaman modern ini makin memicu kerusakan alam.
Sebuah organisasi kemanusiaan melaporkan bahwa bencana terkait iklim telah menewaskan 21.000 orang dalam sembilan bulan pertama tahun ini. Angka itu dua kali lipat daripada jumlah tahun 2009,
Laporan tersebut, yang dikeluarkan pada waktu yang bertepatan dengan awal pembicaraan internasional untuk mengatasi perubahan iklim di Cancun, Meksiko, menyebut banjir di Pakistan, kebakaran dan gelombang panas di Rusia, serta peningkatan permukaan air laut di negara pulau Tuvalu di Pasifik sebagai contoh konsekuensi-konsekuensi mematikan dari perubahan iklim.
Putaran baru pembicaraan iklim PBB itu akan menyetujui serangkaian terbatas masalah yang membagi ekonomi-ekonomi kaya dan miskin, khususnya dalam pendanaan, pengawetan hutan hujan tropis, dan persiapan bagi dunia yang memanas. Pembicaraan itu juga akan berusaha untuk menyusun sasaran-sasaran guna mengekang emisi gas rumah kaca.
Pembicaraan iklim tahun lalu di Kopenhagen berakhir dengan sebuah perjanjian global yang tidak mengikat, dan harapan-haraan pada pembicaraan tahun ini rendah. Para anggota parlemen Amerika Serikat tak mungkin akan mempertimbangkan perundangan untuk menciptakan sistem “cap-and-trade” guna mengekang emisi pemanasan global.
Laporannya tersebut sebagai bukti bahwa tindakan cepat diperlukan untuk meredakan dan beradaptasi dengan perubahan iklim. “Negara-negara sebaiknya mengidentifikasi cara-cara baru untuk mengumpulkan miliaran dollar yang dibutuhkan, seperti menarik pajak dari emisi penerbangan dan pelayaran internasional yang tak diatur dan menyepakati Pajak Transaksi Keuangan di bank-bank. Lebih cepat uang dikirim, akan lebih murah mengatasi perubahan iklim,” kata Tim Gore, penulis laporan itu, dalam satu pernyataan.
Kejadian-kejadian pada tahun 2010 sejalan dengan harapan-harapan yang terinci dalam laporan 2007 oleh Panel Antarpemerintah PBB mengenai Perubahan Iklim, yang menyebutkan gelombang panas lebih berat, kebakaran hutan, banjir, dan meningkatnya permukaan laut adalah mungkin.
Oxfam mengatakan, banjir di Pakistan telah menggenangi sekitar seperlima negara itu, menewaskan 2.000 orang dan berdampak terhadap 20 juta orang, menyebarkan penyakit serta menghancurkan rumah, tanaman, jalan dan sekolah, dengan kerusakan kira-kira senilai 9,7 miliar dollar AS.
Di Rusia, Oxfam mengatakan, suhu udara melampaui rata-rata jangka panjang dengan 14 derajat fahrenheit (7,8 derajat celsius) pada Juli dan Agustus, dan angka kematian harian di Moskowa dua kali lipat menjadi 700. Sekitar 26.000 kebakaran hutan menghancurkan 26 persen tanaman terigu, yang mendorong larangan terhadap ekspor.
Warga Tuvalu yang terletak dataran rendah, tempat laut naik dengan sekitar 0,2 inci (5 hingga 6 mm) setiap tahun, terbukti sulit untuk meningkatkan panen bahan pokok karena air garam merembes ke ladang-ladang pertanian. Sebagai akibatnya, mereka lebih mengandalkan masakan-makanan impor yang telah diproses, demikian menurut laporan tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar