Selasa, 28 Desember 2010

Kontrofersi Poligami

Kontrofersi Poligami
oleh : siti fadhilatussaniah
Poligami memang cenderung menjadi isu menarik. Belum lagi tuntas pro kontra soal poligami, belakangan ini soal poligami kembali terangkat ke ke permukaan, seiring dengan terbentuknya Klub Poligami di Bandung, pertengahan Oktober kemarin.        Poligami juga saat ini tampaknya makin banyak dilakukan. Banyak pihak yang menentang tetapi banyak juga yang mendukung poligami karena dianggap tidak bertentangan dengan agama.

Debat poligami dalam Islam memang tidak lepas dari penafsiran surat an-Nisa’ 4:3. yang berbunyi ”Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”
Ayat ini seringkali dijadikan dasar bahwa Islam membenarkan poligami. Namun, jika kita menilik lebih lanjut, pada dasarnya Islam sangat menentang poligami. Pasalnya, syarat yang diajukan dalam ayat ini sangat berat. Yaitu harus mampu berbuat adil. Selama ini kata adil dalam masyarakat (pendukung poligami), diartikan secara kuantitatif. Yaitu bagaimana membagi nafkah harta, membagi hari, dan seterusnya. Masih belum ada untuk menyatakan tidak ada pemahaman adil dalam perspektif kualitatif.
Tapi poligami konon menjadi obat mujarab untuk mencegah selingkuh dan akan semakin mendekatkan diri kepada Allah. Hal ini didasarkan pada asumsi, perempuan yang dipoligami akan menderita. Penderitaan itu akan memudahkan dirinya mendekat kepada Allah. Bahkan, yang cukup mencengangkan, masyarakat poligami Indonesia (Mapolin), tidak mensyaratkan pembatasan istri sebagaimana dalam Qur’an. Sungguh pemikiran yang perlu dibuktikan lebih lanjut.
Merujuk surat an-Nisa 4:3, menjelaskan, al-Qur’an “enggan” menerima institusi poligami. Hal ini didasarkan pada lima prinsip perkawinan. Pertama, kebebasan dalam memilih jodoh bagi laki-laki dan perempuan sepanjang tidak melanggar kententuan syari’ah. Kedua, prinsip mawaddah warahmah (cinta kasih). Ketiga, prinsip saling melengkapi dan melindungi. Keempat, prinsip mu’asyarah bil ma’ruf (pergaulan yang sopan dan santun). Kelima, prinsip monogami.
Lebih dari itu poligami seringkali meninggalkan duka bagi perempuan. Perempuan tidak berdaya dengan keadaan psikologis dan sosiologisnya. Sebagaimana terjadi baru-baru ini di Jakarta. Tak bisa dipungkiri, poligami masih menjadi momok buat kaum ibu rumah tangga dan aktivis perempuan. Poligami dianggap sebagai tindakan yang melanggar HAM, tidak memanusiakan wanita, dan juga seabrek tuduhan senada lainnya. Intinya, poligami dirasakan tidak adil dan diskriminatif.
Bahkan peluncuran klub poligami asal Malaysia, Poligami Ikhwan, terus menuai kritik. Diluncurkannya klub ini ke publik dikhawatirkan akan menarik para pria yang tadinya tidak berniat, justru malah melakukan poligami.
Kehadiran komunitas poligami yang menyebut diri Komunitas Global Ikhwan, ternyata dinilai justru melukai perasaan perempuan. Bahkan kehadiran klub ini dinilai sebagai salah bentuk ketidaksiapan kaum pria memahami perasaan perempuan, komunitas poligami ini juga seakan menjadi pembenar bagi kaum pria memiliki istri lebih dari satu.
Banyak alasan kaum adam melakukan poligami. Ada yang beralasan karena mengikuti jejak Rasulullah. Tak sedikit yang berniat membantu kaum hawa yang membutuhkan nafkah lahir batin. Namun beberapa diantaranya beralasan untuk menjauhi zinah.
Jika poligami dilakukan tanpa menghiraukan pendapat anak dan hal ini berdampak negatif pada proses tumbuh kembangnya. “Pada dasarnya semua anak mengharapkan memiliki keluarga yang ideal yang terdiri dari satu ayah dan satu ibu. Anak ingin selalu disayangi dan mendapatkan perhatian secara penuh. Saat ayah melakukan poligami maka rasa cemburu, marah, sedih kecewa tentu tidak bisa dihindari,” kata Seto Mulyadi, psikolog anak.
perasaan marah, kecewa dan cemburu tersebut, bisa menumpuk dan akan menggangu emosi anak. Tidak hanya berdampak pada psikologisnya tetapi juga pada fisik dan prestasi akademiknya. Keceriaan anak pun akan berkurang bahkan menghilang akibat tumpukan emosi tersebut.
Tumpukan emosi bisa membuat anak berubah seratus delapan puluh derajat dari yang ceria menjadi pemarah, menutup diri, sulit diatur, dan  membangkang. Pikiran anak yang dipenuhi emosi ini bisa menghambat tumbuh kembang anak baik secara psikis, fisik dan bisa menghambat prestasinya di sekolah.
Menurut pengalaman Kak Seto, anak-anak yang ayahnya berpoligami cenderung tidak menerimanya dan melakukan reaksi penolakan. Hal ini juga berdampak pada hubungan anak dan ayah menjadi lebih renggang.
Jika memang sang ayah melakukan poligami, cobalah berbesar hati meminta maaf pada anak. Karena, poligami pasti melukai anak dan bisa membuatnya berpikir negatif dan apatis terhadap lembaga pernikahan kelak. Menjelaskan dengan kesabaran dan meminta maaf adalah salah satu acara untuk meminimalisir dampak negatif poligami bagi anak
Selain dampak negatif, jika dilihat dari sisi positif, poligami bisa mengajarkan beberapa hal. “Anak akan menjadi belajar lebih tegar dalam menghadapi sebuah persoalan, ia juga bisa memiliki toleransi yang lebih tinggi dan jika diberikan pengertian dengan baik pikirannya bisa lebih menerima hal-hal yang dianggap sulit untuk diterima banyak orang.
Maka dari itu, sudah saatnya kaum intelektual dan “penafsir” teks keagamaan berani menyatakan melarang poligami. Sebagaimana pendapat Siti Musdah Mulia, poligami merupakan kejahatan kemanusiaan (crime againt humanity) dan pelanggaran hak azasi manusia (HAM). Lebih lanjut ia menyatakan poligami sebagai perbuatan haram li qairi (haram karena eksesnya).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar